Wisata Religi Masjid Sunan Kuning dan Kisah yang Melatarinya

31 Jan 2018
Admin Spora
14238
0

Meneliti dan mengamati beberapa situs benda cagar budaya Islam, dapat digunakan untuk melacak proses islamisasi di suatu daerah. Berdasarkan data-data yang ada tersebut nantinya dapat digunakan untuk menelusuri dan menganalisa kapan dan bagaimana proses islamisasi di suatu daerah.

Melacak masuknya ajaran agama Islam, merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan membutuhkan keuletan, ketelitian, dan waktu yang cukup lama.

Sebagaimana untuk mengetahui proses masuknya agama Islam ke wilayah kadipaten Ngrowo, yang sekarang menjadi kabupaten Tulungagung, yang dapat menjadi bukti dan referensi telah terjadi proses islamisasi di kabupaten ini. Sebagaimana Masjid Tiban, Sunan Kuning terletak di Desa Macanbang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Video Produksi PPM Poltekom ’18, Pengabdian Pada Masyarakat Desa Macanbang

Masjid yang terdapat makam di sebelahnya (makam Sunan Kuning) berada di tengah- tengah pemukiman penduduk, dikelilingi oleh pagar batu bata setinggi 1,5 meter, panjang 55 meter dan lebar 45 meter. Di sebelah barat dan selatan masjid Sunan Kuning terdapat pemakaman umum, diantaranya makam Sunan Kuning yang mempunyai nama asli Zaenal Abidin, dan dikelilingi oleh makam sahabat-sahabatnya.

Di sebelah masjid ini terdapat bangunan berbentuk bangunan joglo untuk makam Sunan Kuning yang juga baru saja dibangun oleh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadapnya melalui dana swadaya. Sedangkan kijingan dan batu nisannya diganti dengan batu marmer.

Menurut cerita panitia, batu marmernya didatangkan dari Campurdarat. Sedangkan masjidnya sekarang sudah dipugar/direnovasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung dengan kucuran dana 100 juta rupiah dari anggaran pembangunan tahun 2004. Karena termakan usia, kondisi masjid sudah rusak berat. Bangunan aslinya sudah diganti dengan bahan-bahan baru, namun bentuk dan luas masjid masih tetap sama dengan bangunan aslinya.

Sebelum dilakukan pemugaran masjid Sunan Kuning, sempat terjadi perbedaan pendapat antara kelompok yang masih mempertahankan keaslian masjid dengan kelompok yang menginginkan pembaharuan masjid yang sudah tua.

Bagi yang menginginkan masjid, Sunan Kuning tetap seperti apa adanya berdalih jika masjid dipugar dan diganti dengan bangunan baru akan kehilangan rasa magisnya dan bisa berakibat sepinya orang yang melakukan i’tikaf di dalam masjid. Karena bagaimanapun, kuat dan baiknya bangunan baru tetap berbeda dengan bangunan yang dibuat oleh seorang wali, Sunan Kuning.

Sedangkan bagi yang menginginkan pemugaran masjid berpendapat nilai magis masjid bukan terletak di bangunannya, tapi pada letaknya. Jadi seandainya masjid Sunan Kuning direnovasi tidak akan mempengarui nilai magis selama tidak dipindah letaknya. Dan nyatanya, walaupun sudah dipugar, sampai saat ini juga masih banyak peziarah maupun yang i’tikaf di masjid ini.

Di dalam makalah “Sejarah Hutan Semampir Tahun 1800”, yang ditulis oleh Ngabdul Rasyid, Sunan Kuning memiliki nama asli Zaenal Abidin Putro yang merupakan keponakan Sunan Kudus dan menantu Sunan Ampel. Dia tinggal serta berdakwah di Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang. Setelah wafat dimakamkan di barat masjid tiban Macanbang.

Tahun 1478- 1550 Jw (1553-1625 M), Sunan Ampel mengembangkan wilayah penyebaran Agama Islam sampai di daerah Ludoyo Blitar. Di Ludoyo ada seorang tokoh masyarakat bernama Ki Gawong yang memiliki kasekten dan murid banyak sekali. Pada waktu diadakan musyawarah antara pengikut Sunan Ampel dan Ki Gawong beserta murid- muridnya, terjadi ketidaksepahaman antara dua kelompok tersebut dan pada akhirnya terjadi perselisihan dan peperangan. Peperangan antara dua kelompok tersebut dimenangkan oleh Ki Gawong dan murid-muridnya.

Setelah pengikut Sunan Ampel kembali ke Surabaya, ia mendapat petunjuk agar putrinya, Siti Nuriyah, dijodohkan dengan Sunan Kuning yang kelak dapat mengalahkan Ki Gawong di Lodoyo. Setelah menjadi menantu Sunan Ampel, Sunan Kuning mendapat tugas ke Ludoyo menaklukkan Ki Gawong dan ternyata berhasil mengalahkan Ki Gawong beserta murid-muridnya serta meng-islamkannya.

Ketika Sunan Kuning dan Ki Gawong beserta murid-muridnya pergi ke Surabaya untuk melaporkan kepada Sunan Ampel, di tengah perjalanan istirahat di hutan Semampir (Kediri) untuk makan dan minum. Minuman yang diberikan Sunan Kuning oleh Ki Gawong diberi racun hingga menewaskannya. Akhirnya jenazah Sunan Kuning oleh murid- muridnya dibawa kembali/ pulang ke Desa Macanbang Kecamatan Gondang Tulungagung dan dimakamkan di barat masjid tiban Macanbang.

Namun ada yang menduga bahwa sesungguhnya jenazah Sunan Kuning tidak dibawa kembali oleh murid-muridnya ke Macanbang Gondang Tulungagung, tapi dimakamkan di makan Setono Gedong Kediri. Sedangkan makam yang ada di Macanbang sekarang ini hanyalah petilasannya saja. Makam yang sesungguhnya ada di Setono Gedong dekat masjid tiban yang belum jadi.

Di dalam buku “Sejarah dan Babat Tulungagung”, tahun 1971, ta’mir masjid Sunan Kuning menyatakan bahwa masjid Sunan Kuning ditemukan oleh menantu Kyai Ageng Muhammad Besari Tegalsari, Jetis, Ponorogo ketika menjalankan misinya menyebarkan Agama Islam.

Kyai Ageng Muhammad Besari adalah ulama Ponorogo yang mendapat hadiah tanah perdikan mutihan (perdikan kaum santri) dari Sunan Pakubuwono II karena jasanya membantu Sunan Pakubuwono II ketika melarikan diri dari Keraton Surakarta akibat geger pecinan (pemberontakan orang- orang Cina) tahun 1743. Sunan Pakubuwono II memerintah Keraton Surakarta tahun 1727- 1749.

Sebagai bukti penghargaan dan penghormatan masyarakat Macanbang terhadap tokoh Sunan Kuning dibentuklah takmir masjid dan juru kunci makam untuk mengelola makam dan masjid serta untuk melestarikan kesejarahannya. Wallahu`alam bisshowab.

Tinggalkan Balasan