Kisah Marmer Tulungagung yang Mendunia

13 Jun 2017
7817
1

Meski marmer Tulungaung sudah terkenal dan mendunia, tidak ada yang mencatat sejarah perkembangan industrinya.

Mendapati kenyataan tersebut, Imam Machfudin, pemilik usaha Bintang Marmer yang asli Campurdarat, berusaha menyusun sejarah secara mandiri. Imam mengumpulkan keterangan dari para sesepuh desa hingga para perajin pendahulu. Imam mencatatnya dalam lima dekade.

Dibukanya rintisan pertambangan marmer oleh pemerintah Tahun 1961, tidak serta merta mempengaruhi masyarakat sekitar sebab perusahaan tambang ini bersifat tertutup untuk umum.

Namun lambat laun, warga sekitar mulai merintis usaha kerajinan marmer secara mandiri. Mulanya warga merintis pembuatan traso. Traso merupakan pecahan aneka bebatuan berukuran kecil dan beraneka warna. Traso kemudian diaplikasikan untuk motif lantai.

Sehingga ketika itu muncul istilah ubin motif Tulungagung. Traso juga banyak digunakan untuk makam, bak mandi cetak, pot bunga dan lain-lain. Minimnya teknologi memaksa warga mengerjakan semua dengan cara manual.

Dekade awal tercatat Tahun 1962-1972, masyarakat masih menggunakan alat betel dan palu besar. Pada perkembangannya masyarakat sudah bisa membuat kerajinan berupa asbak marmer berbentuk kotak. “Pada generasi awal ini para perajin sudah mulai membentuk produknya dengan tatah dan palu,” tutur Imam.

Pemasaran hasil kerajinan dilakukan dari mulut ke mulut. Beberapa warga juga memasarkan dengan cara berjualan keliling ke daerah lain. Lambat laun keindahan marmer semakin dikenal, dan banyak diminati secara luas.

Lanjut Imam, dekade ke dua industri rakyat ini sekitar Tahun 1972. Dekade ini ditandai dengan perkembangan teknologi pengolahan marmer, utamanya mesin bubut. Mesin bubut pertama kali dikenalkan kepada perajin binaan pemerintah ketika itu, yang diberi nama Argo Binangun.

“Mesin yang dipakai bekas bubut besi yang sudah rusak atau sudah tidak presisi. Karena pengerjaan marmer tidak butuh detail seperti bubut besi sehingga masih bisa digunakan,” tutur Imam.

Argo Binangun berkembang luar biasa, berkat bantuan lahan, perbengkelan, permodalan dan pembinaan teknik dari pemerintah. Bahkan Tahun 1975 hingga 1989, kelompok ini menjadi pusat pelatihan tenaga trampil pengolahan marmer dari seluruh Indonesia. Generasi kedua ini sudah mengenal showroom untuk memamerkan produk para perajin.

Produk yang dihasilkan juga sudah berkembang. Mulai dari tempat sirih, vas bunga, kap lampu, tea set hingga meja bulat. Hasil produksi warga juga diaplikasikan langsung di rumah masing-masing. Dekade ke dua juga ditandai penggunaan mesin belah batu dengan tenaga diesel.

Namun mesin ini masih terbatas dengan diameter satu meter. Bersamaan dengan mesin belah ini, warga sudah mulai menggunakan derek kaki tiga. “Dengan derek tiga kaki, batu besar berukuran hingga tiga ton sudah bisa dikerjakan. Warga sudah
mulai meninggalkan membelah batu dengan cara manual,” lanjut Imam.

Dekade ke tiga, dimulai tahun 1982 ditandai dengan dikenalkannya disk grinder atau sering disebut warga mesin skrap. Mesin ini membuat para perajin lebih bebas berkreasi dengan marmer. Produk yang dihasilkan juga tidak hanya berbentuk silinder, seperti yang dihasilkan mesin bubut.

Bahkan tangan-tangan kreatif perajin mulai menciptakan patung serta relief dari bahan marmer. Imam berkisah, pelopor kerajinan patung marmer adalah Teguh Gondrong. Dengan latar belakang sebagai seniman, Teguh banyak menghasilkan karya seni.

“Beliau sangat idealis sehingga karya patungnya tidak sekedar yang laris manis di pasaran. Tetapi juga patung-patung nyentrik yang tidak laku di pasaran,” kenang Imam.

Karya fenomenal Teguh Gondrong adalah patung Kuda Jingkrak. Karya ini paling sukses sehingga perajin lain mengadu peruntungan dengan menciptakan ribuan karya serupa. Hingga kini Kuda Jingkrak masih menjadi master piece patung marmer Tulungagung.

Dekade ke tiga juga ditandai kedatangan pematung dari berbagai kota, seperti Blitar, Mojokerto, Pacitan hingga dari Jogjakarta dan Solo. Kedatangan seniman patung asal Jogjakarta dan Solo juga punya andil dalam mengembangkan produk marmer Tulungagung. Terutama untuk aneka relief.

Saat itu warga juga mulai mengenal teknologi gergaji horisontal. Bermula dari kedatangan orang Italia yang memesan meja biliard ukuran besar dalam jumlah banyak. Namun ketika itu perajin terkendala teknologi pemotongan batu yang terbatas.

“Gergaji potong ketika itu ukurannya maksinal 1,3 meter saja dan bisa memotong batu dengan ukuran 90 Cm. Di atas itu masih belum mampu,” katanya.

Orang Italia itu yang kemudian memperkenalkan gergaji horisontal. Dengan gergaji horisontal, batu sebesar apa pun bisa dibelah dengan rapi. Warga mengenalnya dengan nama gergaji osrok karena suara “osrok-osrok” yang ditimbulkan.

Mesin ini mampu menghasilkan lempengan batu yang tipis dan berukuran besar. Gergaji horisontal sebenarnya sangat mahal. Namun para perajin berkreasi dengan menciptakan mesin sendiri. Mesin penggeraknya beli mesin bekas kapal laut di Surabaya. Sementara komponen lainnya mencari di penjual besi bekas atau loakan. Kreasi ini bekerja dengan baik dan menunjang perkembangan produk.

Booming produksi marmer Tulungagung banyak diminati penjual suvenir di Bali. Namun para turis asing banyak yang mencari marmer hingga ke produsennya. Alhasil, banyak di antara mereka yang datang ke Tulungagung dan melakukan transaksi tanpa perantara.

“Para perajin sudah mulai melakukan penjualan langsung ke luar negeri. Awalnya mereka memenuhi pesanan para wisatawan dari Bali,” kisah Imam.

Para perajin lokal ini mulai membangun showroom marmer dalam ukuran besar. Sementara di lain sisi, mulai muncul rivalitas di antara mereka. Rivalitas ini ditandai dengan munculnya patung-patung raksasa yang menjadi simbol kebanggan dan kemajuan usaha mereka, seperti gajah, sapi, kuda dan banteng.

Dekade ke empat perkebangan marmer Tulungagung antara Tahun 1992 hingga 2002. Di masa ini perajin mulai menggunakan aneka teknologi pabrikan, seperti bor duduk dan mesin grafir. Secara khusus, mesin grafir semakin menunjang pengerjaan patung dengan tingkat detail yang tinggi.

“Tenaga penggerak listrik semakin banyak digunakan, selain mesin diesel. Perajin semakin bebas berkreasi untuk menghasilkan produk seni berkualitas,” ucap Imam.

Dekade ini juga ditandai dengan persilangan produk. Sekitar Tahun 2000 misalnya, muncul tren produk marmer digabungkan dengan kerajinan cor logam dari daerah Klaten dan Sukoharjo Jawa Tengah. Persilangan produk ini sangat digemari pasar.

Selain cor logam, marmer juga banyak dipasangkan dengan kerajinan jati ukir dari Jepara. Persilangan produk ini bisa melambungkan harga hingga tiga kali lipat. Namun tidak banyak perajin Jepara yang mau bekerja sama dengan perajin marmer Tulungagung.

Pada akhirnya produk perpaduan cor logam dan marmer yang paling berkembang. Selain itu ditemukan mesin gergaji alur, yang menghasilkan varian produk marmer alur. Dari penelusuran Imam, mesin alur pertama kali dikenalkan oleh perajin bernama Aris dari Buret , Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat .

Bersamaan dengan itu, ditemukan juga varian marmer bakar. Marmer yang dibakar ini memunculkan motif sisa jilatan api di permukaannya, sekaligus mengubah warnanya. Kreasi ini banyak digemari konsumen mancanegara.

Tahun 1998 mulai diperkenalkan pengerjaan batu system chemist, khususnya untuk produk yang mengandung huruf atau simbol. Dengan bantuan komputer, variasi huruf dan simbol mudah diproduksi. Pembuatan produk prasasti marmer turut terdongkrak karena teknologi ini.

Dekade ke lima, sejak 2002 hingga sekarang, teknologi pengerjaan tidak banyak berubah. Namun model desain mengalami perkembangan pesat. Bahkan perajin mulai menggunakan tenaga desainer. Varian produk lama mulai tergeser, kalah dengan produk rancangan para desainer.

“Saat ini banyak customer dari luar negeri yang datang membawa design ke Tulungagung. Mereka minta desainnya diproduksi di sini,” kenang Imam.

Pada masa kini perajin banyak mengerjakan produk berdasarkan pesanan. Buntut dari hubungan langsung dengan konsumen, para perajin juga dituntut bekerja dengan tenggat waktu dan kecermatan tinggi. Utamanya konsumen luar negeri yang memperhatikan detail dan ukuran.

Imam menggambarkan, Tahun 90-an desain produk yang sama bisa mempunyai ukuran yang berbeda antara setengah hingga satu sentimeter. Kondisi tersebut masih bisa diterima oleh pasar.

Namun sekarang, semua produk harus dikerjakan presisi dengan toleransi di bawah satu milimeter. Di era teknologi informasi ini, pemasaran produk marmer juga berkembang. Perajin tidak lagi mengandalkan showroom, namun sudah menggunakan internet. Seperti yang dilakukan Bintang Antik Sejahtera, milik Imam Machfudin.

“Semakin terbukanya pasar ekspor juga menuntut perajin semakin profesional. Kualitas bagus dan variasi desain tak terbatas pula,” tandasnya.

Disadur dari Surya Online 13 September 2014

1 Komentar

Tinggalkan Balasan