Pada tahun 1850, di Pegunungan Gamping selatan di wilayah Campurdarat – kala itu masih disebut dengan distrik Wajak- tepatnya berada di Desa Gamping, kecamatan Campurdarat, kabupaten Tulugagung, terdapat penggalian tambang marmer pertama yang ada di Tulungagung. Berdasarkan penelitian arkeologi yang dilakukan padaoleh Van Riestchoten tahun 1889 di lereng gunung Gamping Distrik Wajak Kecamatan Campurdarat ditemukan bukti bahwa pada masa lalu daerah ini telah didiami oleh Homo Sapiens Wajakensis. Fosil ini merupakan fosil Homo Sapiens pertama yang dijumpai di Indonesia dengan ciri-ciri memiliki volume otak 1630 cc, bermuka datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya menonjol sedikit.
Fosil kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang nyata. Dari tulang pahanya dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo Sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik ras Mongoloid dan Austrolomelanosoid. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang. Selain itu di desa Gamping Kecamatan Campurdarat juga ditemukan fosil tapirus indicus (Tapir), Manik-manik dan benda perunggu.
Pemberitaan pertama tentang fosil manusia purba Homo Wajakensis diterbitkan tahun 1889 dalam pertemuan ”Koninklij – ke Natuurkundigo in Nederkansch – Indie” pada 13 Desember 1888, Mr. C. Ph. Sluiter tahun 1889 membaca surat dari Mr. B. D. Van Rietshouten yang isinya dia telah menemukan tengkorak manusia dan sejenisnya. Abstraksi tentang isi surat tersebut disimpan pada berkas koleksi Dubois, Rijksmuseum Van Natuurlijk Historie, Leiden.
Di dalamnya termasuk sketsa tentang situs wajak yang diproduksi ulang oleh Van Briak, 1982. Surat tersebut tertanggal 31 Oktober 1888 (Majalah Bersinar Tulungagung, edisi 25/IV/April 2005). Menurut Effendhie (1999), bahwasanya manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi badan 173 cm, manusia Wajak ini juga menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid dan Australomelanosoid, yang diperkirakan hidup antara 40.000 sampai 25000 tahun yang lalu.
Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa manusia purba Homo Wajakensis tersebut, akhirnya Dubois tinggal di daerah Tulungagung kurang lebih selama lima tahun. Di daerah Tulungagung tersebut, ia melakukan penyisiran lagi, ditempat Van Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak.
Yang menarik pada saat Dubois tinggal di daerah Tulungagung adalah ia juga sering berkunjung ke perkebunan milik orang Skotlandia yang bernama Boyd, tepatnya di daerah Pegunungan Wilis. Setelah Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah Tulungagung Selatan (Homo Wajakensis), ia semakin berambisi untuk bisa menemukan manusia purba yang lainnya. Akhirnya ia berpindah ke berbagai tempat di daerah Jawa Timur dan daerah Jawa Tengah.
Sudah berpuluh tahun Dubois meninggalkan Indonesia, akhirnya kuburannya yang terletak di perkebunan De Bedelaer miliknya di Kota Venlo, hanya bisa membisu. Batu nisannya yang bertahtakan fosil tempurung kepala dan dua tulang paha yang disilangkan dari Phithecantrhopus yang menjadi saksi bahwasanya Dubois adalah penemu fosil manusia purba di Indonesia (khususnya daerah Jawa Tengah dan daerah Jawa Timur).
Perlu diketahui bahwa Homo Sapiens yang dinamakan Homo Wajakensis tersebut merupakan kesejarahan yang berskala internasional yang telah diakui keberadaannya oleh dunia. Sehingga sangat tepat dan benar apabila dibangun tugu monumen sebagai bentuk simbolisasi terhadap penemuan fosil Homo Wajakensis yang pernah terjadi pada masa itu.
Tugu monumen Wajakensis ini berada di Dusun Nglempung, desa Gamping, kecamatan Campurdarat, kabupaten Tulungagung. Tugu monumen ini dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung pada tahun 2012 yang bertujuan untuk memberi tanda lokasi kerja Dubois bahwa di kawasan tersebut dulunya pernah ditemukan fosil Homo Wajakensis. Filosofi dari bangunan tugu monumen Wajakensis yakni adanya bentuk yang menyerupai huruf C. Lambang C pada monumen ini mengarah ke Gua Lawa, yaitu tempat ditemukannya fosil manusia purba Homo Wajakensis. Huruf C pada tugu monument ini diartikan sebagai cikal bakal ditemukannya fosil manusia purba pertama di Indonesia.
Hanya saja pada pembangunannya dan pengembangannya, tugu monumen Wajakensis ini masih belum banyak diketahui oleh generasi muda maupun masyarakat dikarenakan tidak adanya petunjuk arah mengenai situs Wajakensis. Sehingga kawasan tugu monumen Wajakensis ini terkesan sepi dan terasingkan oleh peradaban baru.
Pendirian tugu monumen tersebut sebenarnya sudah sesuai dengan lokasi ditemukannya fosil Homo Wajakensis oleh Dubois, karena tidak jauh dari tugu monumen tersebut tedapat jajaran Goa tempat tinggal Homo Wajakensis dan Tugu prasasti marmer yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Hal lain yang memperkuat bahwa situs Wajakensis ini masih utuh adalah pendapat dari Aziz, seorang Geolog dari ITB yang melakukan penelitian dengan bantuan dari penggambaran dan catatan Dubois, yang mengatakan bahwa situs Wajak tidak hancur dari penambangan marmer dan masih ada kemungkinan untuk digali.
Disadur dari berbagai sumber.