Jika Anda suka menelisik sejarah Tulungagung, Anda tidak akan lepas dari nama Djayengkoesoemo. Dia dianggap sebagai salah seorang yang “babad alas” Tulungagung, terutama di kawasan Tulungagung bagian selatan.
Makamnya berada di wilayah Kecamatan Pucanglaban, tepatnya di Desa Demuk. Sejumlah orang mengkeramatkan makamnya dan banyak yang berziarah ke sana.
Siapakah Djajengkoesoemo?
R.M. Djajengkoesoemo masih keturunan Raja Mataram (Hamengkubuwono II). Beliau adalah putra R.M.T. Djajaningrat, Bupati Ngrowo yang ke-5. nama kecilnya R.M. Moidjan. Sejak dari kanak-kanak sudah tampak jiwa kepahlawanannya, dan bibit kebenciannya terhadap orang-orang Belanda. Seringkali putera Bupati ini bertengkar dengan sinyo-sinyo dan bahkan pada suatu ketika pernah ada seorang anak Belanda yang ditempelengnya sampai jatuh pingsan. Ayahnya, ialah R.M.T. Djajaningrat kerap kali merasa jengkel terhadap tindakan puteranya. Karena kenakalannya pernah R.M.Moijan dihajar oleh sang ayah, dimasukkan dalam kolah berisi air yang dicampur dengan tumbukan lombok rawit. Tetapi ternyata tidak apa-pa. jangankan menangis, merasa pedih atau “wedangan” (bahasa Jawa) pun tidak. Setengah orang mengatakan bahwa R.M.Moijan adalah anak kendit (mempunyai jalur putih yang melingkar diatas pingganya).
Ini menandakan seorang anak yang memiliki kekebalan. Setelah dewasa R.M.Moijan berganti nama R.M.Djajengkoesoemo. pada tahun 1644 R.M.Djejengkoesoemo R.M.Djajengkoesoemo sudah menjabat Wedono di kota Tulungagung, lalu pindah ke Srengat (1849), kemudian ke Nganjuk (1051). Tiga tahun kemudian menjabat Collecteur Berhbek lalu dipindah jadi Wedono Distrik Gemenggeng. R.M.Djajengkoesoemo sangat memperhatikan kebutuhan penduduk. Ini terbukti dengan usaha pembangunannya, ialah ketika di Srengat membuat bendungan Pakel yang dapat menolong penghidupan rakyat desa Pakel, Pucung, dan Majangan (Ketm. Ngantru). Selain itu membangun rumah Kawedanan dengan merogoh sakunya sendiri.
Di Nganjuk juga membangun rumah, lantai dan pagar Kawedanan atas biaya sendiri serta mengerjakan bendungan kali Lo, yang menggenangi kebun tebu sampai menjadi sawah. Di Gemenggeng membangun rumah Kawedanan beratab sirap dan memperbaiki bendungan Kedung Gupit-Paron yang sering kali dadal, sampai menjadi kuta sekali.
Oleh sebab beliau sering berkecimpung dalam masalah pembangunan, maka hubungannya dengan masyarakat menjadi lebih akrab, sehingga hampir setiap orang mengenalnya.
Eratnya perhubungan ini lebih menjangkitkan jiwa kepatriotannya, sehingga dimana saja namanya selalu disebut orang. Beliau termasuk seorang yang berkeras hati dan pemberani, tetapi perasannya sangat halus. Hal ini terbukti dengan terjadinya peristiwa Ngujang. Pada waktu itu jembatan Ngujang sedang dalam keadaan dibangun. Kuli-kuli bekerja dengan sibuknya.
Dalam perjalannya dari Nganjuk ke Tulungagung R.M.Djajengkoesoemo tertarik kepada kesibukan pekerjaan-pekerjaan pembangunan, sehingga terpaksa berhenti untuk melihatnya.
Diantara berpuluh-puluh kuli, terdapat beberapa kelompok orang yang sedang beristirahat sambil duduk menikmati bekal yang dibawanya dari rumah.
Kebelutan pada saat itu ada seorang petugas bangsa Belanda yang sedang berkeliling mengadakan pengawasan. Mengetahui orang duduk sambil makan itu ia marah-marah dengan membentak-bentak ia menyuruh orang-orang itu bekraja kembali dan menaburkan pasir pada makanan kuli tersebut.
R.M. Djajengkoesoemo mengetahui semua kejadian itu. Beliau tak dapat menabahkan hatinya. Tanpa pikir panjang pusakanya dihunus diacungkan kepada petugas yang kasar itu. Karena pusaka itu sangat ampuh maka petugas tadi tak dapat bergerak dan mati dalam keadaan tetep berdiri.
Keris pusaka itu bernama keris Kyai Semar Mesem yang sampai sekarang masih disimpan oleh keturunan R.M. Djajengkoesoemo. Dengan terjadinya peristiwa itu R.M. Djajengkoesoemo dipersalahkan, tetapi karena beliau itu masih keturunan Raja, tidak dikenakan hukuman penjara, melainkan diselong ke Demuk. Untuk ini beliau disuruh mengajukan permohonan babad hutan kepada pemerintah Belanda. Surat keputusan berhenti dari jabatan karena pensiun onderstand diberikan dan berlaku mulai tanggal 23-3-1880, sedang surat ijin babat hutan Demuk diperolehnya pada tanggal 10 Oktober 1893.
Waktu berangkat beliau hanya membawa bekal uang f.0,25, dan mengerahkan tenaga sebanyak 40 orang. Tiga pedukuhan yang dikerjakan ialah Puser, Boto dan Kasrepan. Luas tanah yang dibabad kesemuanya ada 35 bau, terdiri dari 9,75 bau untuk pekarangan, dan 25,25 bau untuk pagagan. (Isin No. 755 tgl. 10 Oktober 1893). Ikut bertanda tangan sebagai Komisi :
- Kontroleur Ngrowo,
- Wedono Distrik Ngunut, dan
- Assisten Wedono Kalidawir.
Tanah tersebut tetap menjadi miliknya R.M. Djajengkoesoemo sampai turun-temurun. R.M. Djajengkoesoemo wafat pada tanggal 9-12-1903 dan dimakamkan di Demuk.
Sedang putranya bernama R.M. Argono Purbokoesoemo yang umumnya disebut Raden Margono pernah menjabat Kepala Desa Puser. Cerita kesaktian masih pula terdapat pada masa itu. Pernah ada seorang mantra klasir mencobanya, ialah dengan sengaja meninggalkan topinya. Mantri ini lalu suruhan orang untuk mengambilnya tetapi entah karena apa tidak kuat mengangkat. R.M.Margono mengerti hal ini. Beliau segera mendekati topi tersebut, lalu disemparnya dengan kaki. Topi melesat dan jatuh persis di atas kepala mantri Klasir. Demonstrasi ini diketahui oleh para lid Klasir, baik dari desa Demuk maupun desa sekitarnya, sehingga setelah itu Mantri Klasir tak berani menonjolkan kelebihannya lagi.
R.M. Djajengkoesoemo oleh pejabat pemeritnah Belanda sangat disegani. Demikian pula keturunnya ialah R.M. Purbokoesoemo.
Ketika jaman perang kemerdekaan desa Demuk yang terpencil itu menjadi ramai seperti kota, karena banyak orang datang untuk minta restu agar untuk mendapatkan keselamatan di dalam masa perjuangan menghadapi musuh.
R.M. Poerbo ini mempunyai 9 orang putera dan salah seorang diantaranya menjadi isteri Wedono pensiunan (R.P. Sajid) di Kediri, yang menyimpan surat piagam maupun surat silsilah peninggalan Eyangnya. R.M. Poerbo meninggal pada tanggal 26-6-1946 dan dimakamkan pula di dekat makam ayahnya. Hingga sekarang desa Demuk merupakan desa yang bersejarah sehingga di dekatnya didirikan Pos kemantren dan setelah diadakan perubahan wilayah, masuk Kecamatan Pucanglaban.
Diolah dari berbagai sumber.
Thn 1640 wedono tulungagung , thn 1849 pindah srengat,1903 meninggal…umur 260thn lebih banyak banget …
Saya ingin tau siapa sja silsilah keluarga djaya kusuma ..yang ada smpai sekarang yang tak terlupakan smpai yang terlupakan.trimakasih.
Maaf penulisan tahun artikel ini kurang/tidak hati-hati ada banyak kesalahan, saya pernah mendapat copyan babad dari bu Sun (salah satu keturunannya yg di Demuk), pergantian nama tahun 1644 itu tidak masuk akal mungkin yg benar 1844, beliau itu masih masuk garis keturunan raja Yogyakarta tepatnya dari garis Sri Sultan HB II sedang sultan kedua saja lahir pada tahun 1750, lalu soal keluarnya surat ijin membuka desa memang tahun 1880 tapi pembukaan lahannya bukanlah tahun 1893 tapi 1883
Iya harap lebih teliti dalam penulisan tahun pada sejarah..karena sangat penting untuk edukasi masa terjadi dan peristiwa.. tidak mengutip dari artikel lain..tapi harus bersumber dari nara sumber yang jelas..misal nya dari anak turunnya RM.Djayengkusumo yang saat ini masih berdomisili di Kab.Tulungagung
Memang benar,keturunan asli Eyang Margono saat ini terebar di ngunut dan Boyolangu.
Keturunan Eyang Margono Diantaranya alm. Eyang R Kadeni,Soejono,alm.Eyang R.Lilik,alm.R Soelastri (eyang putri saya.)Eyang R.Kadeni dan Eyang R.Soelastri dimakamkan di desa Boyolangu,Tulungagung.Sejarah harus dibuka sebenar benarnya.
Keturunan Eyang Margono ya bungsu adalah Alam. R Didik tinggal Utara desa ngantru.
Keturunan Alam.R Soejono tinggal di Sepanjang Sidoarjo,Keturunan Alm.R Lilik di Ngunut,
Keturunan Alm.R Soelastri tinggal di Desa Boyolangu depan Balai desa Boyolangu.
Kami silsilah yg terlupakan.
Namun Doa tetap tertuju untukmu slalu Para pendahuluku.. Bismillah untukmu.